Semester
terakhirku di sekolah ini, aku baru saja putus dengan dua orang. Aku bukanlah
seorang playboy namun belum 2 bulan berlalu setelah berpacaran dengan salah seorang adik kelas selama 6 bulan dan setelahnya dengan
adik kelas yang baru saja memasuki semeste keduanya di sekolah ini setelah berpacaran selama 1
bulan. Sekarang aku telah dekat dengan seorang adik kelas juga. Kelas kami
bertetangga sehingga setiap keluar istirahat aku
menemuinya. Namanya Salwa Aulia, gak cantik, gak putih, dan gak langsing pula.
Ia terlihat bisa saja, dengan perawakan yang cukup gemuk dan apabila dilihat
oleh seseorang kemungkinan gak akan ngelirik untuk yang kedua kalinya karena
emang kali ini teman dekatku sangat biasa.
Berawal
dari masalah yang ku hadapi dengan sahabatku sendiri yaitu Angga, aku bertemu
dengan Salwa di dekat tangga samping kelasnya yang ketika itu
sering kudapati sedang melihat taman sekolah. Entah apa yang ia pikirkan saat
itu. Saat aku mulai menyapanya dan mengobrol, kami bisa langsung akrab dan
entah kenapa
aku menikmati dan merasa nyaman untuk bercerita dengannya. Semenjak
saat itu aku sering bercerita dengan dia dan mencarinya
ke kelasnya sekedar untuk
bercerita.
Hampir tiap hari aku lakukan
ini dan karena keseringan
nyariin Salwa di kelas, gosip baru akhirnya merebak di kelasnya. Aku yang gak
tau apa-apa tentu saja tak merasa dan risih dan malah menjadi lebih sering
mencari saat sebelum pelajaran pertama dimulai hanya untuk memastikannya masuk
atau saat istirahat dan saat pulang sekolah. Aku memanggil dengan
panggilan akrabnya, Wawa.
“Wawanya
ada?” tanyaku pada salah seorang teman kelasnya Salwa saat istirahat.
“Ada
di dalam tu ka’,” jawabnya dengan senyum.
“Owh
iya makasi dek...” jawabku tersenyum balik dengan mengernyitkan kening karena
merasa heran dengan senyumnya.
“Aeeet
yang sekarang sering di cariin sama Ka’ Sani,” tiba-tiba seorang teman Salwa yang baru saja aku tanyai meneriaki dari dekat
pintu.
Kulihat
ia dan teman-temannya yang lain juga telah melihat kami. “Hmmm... dasar
temen-temennya Wa,” aku tak banyak komentar.
Salwa
hanya tertawa kecil sambil menutup mulut dengan tangan kanannya mendengarku
menggerutu dan kemudian melemparkan senyumnya padaku, hal itu membuatku tak
keberatan karena aku sedang melihat ia sedang tersenyum manis padaku.
“kenapa
kakak?” tanya Salwa yang kemudian heran.
“Gak
da... Wa, lagi apa?” tanyaku.
“Lagi
nungguin kakak kesini, mau ke kantin?” ia membalas dengan senyuman manis yang membuatku menerima semua perkataannya. Aku
luluh dengan senyum yang kerap sekali ia lemparkan padaku.
“Geh,
mau beli lolipop sama coklat!?” balasku.
“Cieee
yang jalan berdua,” teman-temannya Salwa meneriaki
kami berdua saat berjalan keluar dari kelas tersebut yang membuat kami tertawa
kecil. Kami menyusuri lorong panjang di antara kelas-kelas anak kelas satu. Tak
hayal banyak yang melihatku bersama perempuan ini sekarang karena aku salah
satu cowo yang cukup populer di sekolah. Sepanjang itu kami mengobrol kecil
untuk tidak menghiraukan semua pandangan yang tertuju pada kami.
“Bik,
minta lolipopnya 4 sama coklatnya 4 juga,” Salwa meminta salah satu bibi yang
menjadi penjaga di kantin.
Yah
ini adalah hal yang cukup sering kami lakukan sepanjang waktu istirahat karena
kami mempunyai kesukaan yang sama pada lolipop dan coklat. Aku tak keberatan dibicarakan di kantin sekolah dan sepanjang jalan
menaiki kelas kami karena saat ini aku jauh lebih mementingkan perasaan yang
masih terus berkembang bersama perempuan disampingku ini, ungkapku dalam
hati.
“Makasi
Wa...” ungkapku tiba-tiba saat berjalan
menaiki tangga menuju kelas.
“Kenapa
kakak?” ia bertanya heran.
“gak ada, seneng
aja makanya bilang gitu.” Uungkapku dengan senyum yang merekah.
Ma.kasi
udah
ngisi hari-harinya kakak,
karena Wa kakak gak pernah
kesepian. Rasanya selalu
seru dan bermakna seakan-akan gak butuh orang lain lagi, makasi sekali
lagi untuk tiap-tiap senyum dan
tawanya. Ungakapku dalam hati.
Dengan
cepat aku telah melupakan orang-orang yang telah mengisi hatiku lebih dulu, aku
merasakan kenyamanan yang lebih bersamanya sekarang ini. Tak ada hari yang ku
lalui tanpa melihatnya dan tanpa pesan masuk di handphoneku meskipun itu adalah
keluhnya.
5
bulan sudah aku menjalin hubungan namun belum satu katapun aku ungkapkan untuk
menjadikannya pacarku, aku telah membuatnya berharap dalam ketidakpastian
hingga aku mendapat predikat lulus dari sekolah yang membuatku lupa untuk
mengungkapkan perasaan itu. Selain itu aku semakin dekat dengannya,
sampai-sampai tak ada rahasia yang kami sembunyikan diantara kami berdua.
Satu
minggu setelah kelulusan, untuk merayakan kelulusan teman-teman kelasku
memutuskan untuk jalan-jalan ke Sembalun. Sebuah tempat di kaki Gunung Rinjani dengan
pemandangan pedesaan yang khas memanjakan mata. Mataram-Sembalun, 3 jam
perjalanan kami tempuh untuk sampai di tempat tujuan. Suhu dingin membuat
tempat ini tumbuh subur dan jarang terlihat oleh matahari. Di perjalanan kami
kehujanan yang membuat suhu di tempat itu semakin
dingin. Dengan berat hati aku menyalakan 3 batang rokok untuk menghilangkan
dinginnya cuaca sembalun padahal sebelumnya aku telah janji untuk tidak merokok
pada Salwa. Aku yang merasa bersalah dengan diriku sendiri dan janji yang ku
buat. Akhirnya dengan perasaan menyesal yang sangat, aku menghubungi Salwa dan
memberitahukan hal tersebut, sehingga aku di omeli olehnya.
“Sekali
lagi Wa tau kakak ngerokok, Wa gak bakalan mau ketemu sama kakak,” suaranya menggetar dan meruntuhkan hatiku saat itu, aku merasa benar-benar takut kehilangannya.
Semenjak
hari itu aku berjanji tidak akan pernah merokok lagi. Aku menyayanginya
sehingga apa yang dia katakan rela untuk aku
lakukan dan menceritakan apapun yang aku
alami. Sehingga ia menjadi orang pertama
yang aku kabari, begitupun sebaliknya.
Tepat
6 bulan aku memulai kedekatanku dengan Salwa tiba-tiba ia tak pernah lagi
menghubungiku dan muncul di layar handphoneku, selama seminggu aku
menghubunginya namun tak satupun pesan yang dibalasnya dan hanya kakaknya yang
mengangkat telepon. aku seperti seorang pedagang yang kehilangan mutiaranya,
tak tahu kemana dan membuatku sangat sedih tak mendapatkan kabar darinya.
Aku
menjadi sering menunggu di depan sekolah
menunggu saat waktu pulang, namun tak pernah ku temui. Aku tak tahu kenapa
sangat sulit untuk bertmu dengannya dan teman-teman dekatnya.
Jumat
sore aku bertemu dengan salah satu teman kelasnya di taman depan sekolah dan
mengobrol, aku mendengar kabar bahwa ia telah mempunyai seorang pacar di
kelasnya sendiri.
Lama
aku termenung memikirkan kata-kata perempuan di depanku ini. Aku setengah tak
percaya dengan ungkapannya. Tak ada yang angkat bicara, serasa taman itu
menjadi sunyi dan sepi dengan banyak anak sekolah yang sedang melakukan
kegiatan ekstrkulikuler tanpa suara.
“Aku tak habis pikir kenapa bisa? Ku kira ia... ia tak
akan pernah berpaling dariku,” ungkapku tertegun dengan penjelasan teman
kelasnya Salwa itu.
Hatiku
mulai merengek tak karuan, sekeliling mulai menjadi seperti sebuah teater
lambat, satu sama lain berbicara tak bersuara. kemudian aku menengadah ke
langit. Lama ku pandangi awan yang sedang terbang menjadi tak beraturan di atas
langit. Kenapa Wa begitu tega
meninggalkan hati ini, tak tahukah kakak sangat kehilanganmu, ungkap
hatiku.
”Ka’ Sani
kenapa?” tanya perempuan yang sedari tadi mengobrol
denganku dengan keheranan.
Aku
tak menjawab pertanyaanya dan masih tetap menengadah tak bergeming, kini
awan-awan yang tadi ku lihat telah menjauh dari pandanganku.
”Kenapa
birunya langit tak pernah bosan untuk kita lihat dan iringan awan tak dapat
kita cegah untuk pergi?” Kataku tiba-tiba.
“Maksud
kakak?” tanyanya tambah heran sambil menengadah.
“Kakak
suka sama Salwa?” ia melanjutkan dan tampak mengerti dengan yang ku katakan.
“Apa
kau tau, birunya langit itu seperti cinta yang tumbuh di hatinya kakak. Luas
tak terhingga. Sementara awan-awan tadi adalah yang mengisi hati itu menjadi
lebih indah dari hanya sekedar samudra biru diatas kepala. Namun aku juga tak
dapat untuk mencegahnya pergi. Seperti itulah aku mencintainya, setinggi dan
seluas samudra langit dengan awan yang menghiasinya yang tak penah terjangkau
sebuah pikiran dan kata,” aku melanjutkan.
Semenjak
mendengar kabar bahwa ia telah mempunyai pacar, aku mencoba untuk berfikir lebih
dewasa dengan menerima semua keadaan ini maskipun yang ku rasakan adalah
hari-hari tak pernah memihak kepadaku lagi. Aku diliput kesediahan mendalam,
kehilangan hati yang selama ini telah menjaga dan menemani hari-hariku tanpa
bosan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar