Selasa, 15 Juli 2014

LOLIPOP DAN COKLAT




Semester terakhirku di sekolah ini, aku baru saja putus dengan dua orang. Aku bukanlah seorang playboy namun belum 2 bulan berlalu setelah berpacaran dengan salah seorang adik kelas selama 6 bulan dan setelahnya dengan adik kelas yang baru saja memasuki semeste keduanya di sekolah ini setelah berpacaran selama 1 bulan. Sekarang aku telah dekat dengan seorang adik kelas juga. Kelas kami bertetangga sehingga setiap keluar istirahat aku menemuinya. Namanya Salwa Aulia, gak cantik, gak putih, dan gak langsing pula. Ia terlihat bisa saja, dengan perawakan yang cukup gemuk dan apabila dilihat oleh seseorang kemungkinan gak akan ngelirik untuk yang kedua kalinya karena emang kali ini teman dekatku sangat biasa.

Berawal dari masalah yang ku hadapi dengan sahabatku sendiri yaitu Angga, aku bertemu dengan Salwa di dekat tangga samping kelasnya yang ketika itu sering kudapati sedang melihat taman sekolah. Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Saat aku mulai menyapanya dan mengobrol, kami bisa langsung akrab dan entah kenapa aku menikmati dan merasa nyaman untuk bercerita dengannya. Semenjak saat itu aku sering bercerita dengan dia dan mencarinya ke kelasnya sekedar untuk bercerita.

Hampir tiap hari aku lakukan ini dan karena keseringan nyariin Salwa di kelas, gosip baru akhirnya merebak di kelasnya. Aku yang gak tau apa-apa tentu saja tak merasa dan risih dan malah menjadi lebih sering mencari saat sebelum pelajaran pertama dimulai hanya untuk memastikannya masuk atau saat istirahat dan saat pulang sekolah. Aku memanggil dengan panggilan akrabnya, Wawa.

“Wawanya ada?” tanyaku pada salah seorang teman kelasnya Salwa saat istirahat.

“Ada di dalam tu ka’,” jawabnya dengan senyum.

“Owh iya makasi dek...” jawabku tersenyum balik dengan mengernyitkan kening karena merasa heran dengan senyumnya.

“Aeeet yang sekarang sering di cariin sama Ka’ Sani,” tiba-tiba seorang teman Salwa yang baru saja aku tanyai meneriaki dari dekat pintu.

Kulihat ia dan teman-temannya yang lain juga telah melihat kami. “Hmmm... dasar temen-temennya Wa,” aku tak banyak komentar.

Salwa hanya tertawa kecil sambil menutup mulut dengan tangan kanannya mendengarku menggerutu dan kemudian melemparkan senyumnya padaku, hal itu membuatku tak keberatan karena aku sedang melihat ia sedang tersenyum manis padaku.

“kenapa kakak?” tanya Salwa yang kemudian heran.

“Gak da... Wa, lagi apa?” tanyaku.

“Lagi nungguin kakak kesini, mau ke kantin?” ia membalas dengan senyuman manis yang membuatku menerima semua perkataannya. Aku luluh dengan senyum yang kerap sekali ia lemparkan padaku.

“Geh, mau beli lolipop sama coklat!?” balasku.

“Cieee yang jalan berdua,” teman-temannya Salwa meneriaki kami berdua saat berjalan keluar dari kelas tersebut yang membuat kami tertawa kecil. Kami menyusuri lorong panjang di antara kelas-kelas anak kelas satu. Tak hayal banyak yang melihatku bersama perempuan ini sekarang karena aku salah satu cowo yang cukup populer di sekolah. Sepanjang itu kami mengobrol kecil untuk tidak menghiraukan semua pandangan yang tertuju pada kami.

“Bik, minta lolipopnya 4 sama coklatnya 4 juga,” Salwa meminta salah satu bibi yang menjadi penjaga di kantin.

Yah ini adalah hal yang cukup sering kami lakukan sepanjang waktu istirahat karena kami mempunyai kesukaan yang sama pada lolipop dan coklat. Aku tak keberatan dibicarakan di kantin sekolah dan sepanjang jalan menaiki kelas kami karena saat ini aku jauh lebih mementingkan perasaan yang masih terus berkembang bersama perempuan disampingku ini, ungkapku dalam hati.

“Makasi Wa...”  ungkapku tiba-tiba saat berjalan menaiki tangga menuju kelas.

“Kenapa kakak?” ia bertanya heran.

gak ada, seneng aja makanya bilang gitu. Uungkapku dengan senyum yang merekah.

Ma.kasi udah ngisi hari-harinya kakak, karena Wa kakak gak pernah kesepian. Rasanya selalu seru dan bermakna seakan-akan gak butuh orang lain lagi, makasi sekali lagi untuk tiap-tiap senyum dan tawanya. Ungakapku dalam hati.

Dengan cepat aku telah melupakan orang-orang yang telah mengisi hatiku lebih dulu, aku merasakan kenyamanan yang lebih bersamanya sekarang ini. Tak ada hari yang ku lalui tanpa melihatnya dan tanpa pesan masuk di handphoneku meskipun itu adalah keluhnya.

5 bulan sudah aku menjalin hubungan namun belum satu katapun aku ungkapkan untuk menjadikannya pacarku, aku telah membuatnya berharap dalam ketidakpastian hingga aku mendapat predikat lulus dari sekolah yang membuatku lupa untuk mengungkapkan perasaan itu. Selain itu aku semakin dekat dengannya, sampai-sampai tak ada rahasia yang kami sembunyikan diantara kami berdua.

Satu minggu setelah kelulusan, untuk merayakan kelulusan teman-teman kelasku memutuskan untuk jalan-jalan ke Sembalun. Sebuah tempat di kaki Gunung Rinjani dengan pemandangan pedesaan yang khas memanjakan mata. Mataram-Sembalun, 3 jam perjalanan kami tempuh untuk sampai di tempat tujuan. Suhu dingin membuat tempat ini tumbuh subur dan jarang terlihat oleh matahari. Di perjalanan kami kehujanan yang membuat suhu di tempat itu semakin dingin. Dengan berat hati aku menyalakan 3 batang rokok untuk menghilangkan dinginnya cuaca sembalun padahal sebelumnya aku telah janji untuk tidak merokok pada Salwa. Aku yang merasa bersalah dengan diriku sendiri dan janji yang ku buat. Akhirnya dengan perasaan menyesal yang sangat, aku menghubungi Salwa dan memberitahukan hal tersebut, sehingga aku di omeli olehnya.

“Sekali lagi Wa tau kakak ngerokok, Wa gak bakalan mau ketemu sama kakak,” suaranya menggetar dan meruntuhkan hatiku saat itu, aku merasa benar-benar takut kehilangannya.
Semenjak hari itu aku berjanji tidak akan pernah merokok lagi. Aku menyayanginya sehingga apa yang dia katakan rela untuk aku lakukan dan menceritakan apapun yang aku alami. Sehingga ia menjadi orang pertama yang aku kabari, begitupun sebaliknya.

Tepat 6 bulan aku memulai kedekatanku dengan Salwa tiba-tiba ia tak pernah lagi menghubungiku dan muncul di layar handphoneku, selama seminggu aku menghubunginya namun tak satupun pesan yang dibalasnya dan hanya kakaknya yang mengangkat telepon. aku seperti seorang pedagang yang kehilangan mutiaranya, tak tahu kemana dan membuatku sangat sedih tak mendapatkan kabar darinya.

Aku menjadi sering menunggu di depan sekolah menunggu saat waktu pulang, namun tak pernah ku temui. Aku tak tahu kenapa sangat sulit untuk bertmu dengannya dan teman-teman dekatnya.

Jumat sore aku bertemu dengan salah satu teman kelasnya di taman depan sekolah dan mengobrol, aku mendengar kabar bahwa ia telah mempunyai seorang pacar di kelasnya sendiri.

Lama aku termenung memikirkan kata-kata perempuan di depanku ini. Aku setengah tak percaya dengan ungkapannya. Tak ada yang angkat bicara, serasa taman itu menjadi sunyi dan sepi dengan banyak anak sekolah yang sedang melakukan kegiatan ekstrkulikuler tanpa suara.

Aku tak habis pikir kenapa bisa? Ku kira ia... ia tak akan pernah berpaling dariku,” ungkapku tertegun dengan penjelasan teman kelasnya Salwa itu.

Hatiku mulai merengek tak karuan, sekeliling mulai menjadi seperti sebuah teater lambat, satu sama lain berbicara tak bersuara. kemudian aku menengadah ke langit. Lama ku pandangi awan yang sedang terbang menjadi tak beraturan di atas langit. Kenapa Wa begitu tega meninggalkan hati ini, tak tahukah kakak sangat kehilanganmu, ungkap hatiku.

”Ka’ Sani kenapa?” tanya perempuan yang sedari tadi mengobrol denganku dengan keheranan.

Aku tak menjawab pertanyaanya dan masih tetap menengadah tak bergeming, kini awan-awan yang tadi ku lihat telah menjauh dari pandanganku.

”Kenapa birunya langit tak pernah bosan untuk kita lihat dan iringan awan tak dapat kita cegah untuk pergi?” Kataku tiba-tiba.

“Maksud kakak?” tanyanya tambah heran sambil menengadah.

“Kakak suka sama Salwa?” ia melanjutkan dan tampak mengerti dengan yang ku katakan.

“Apa kau tau, birunya langit itu seperti cinta yang tumbuh di hatinya kakak. Luas tak terhingga. Sementara awan-awan tadi adalah yang mengisi hati itu menjadi lebih indah dari hanya sekedar samudra biru diatas kepala. Namun aku juga tak dapat untuk mencegahnya pergi. Seperti itulah aku mencintainya, setinggi dan seluas samudra langit dengan awan yang menghiasinya yang tak penah terjangkau sebuah pikiran dan kata,” aku melanjutkan.

Semenjak mendengar kabar bahwa ia telah mempunyai pacar, aku mencoba untuk berfikir lebih dewasa dengan menerima semua keadaan ini maskipun yang ku rasakan adalah hari-hari tak pernah memihak kepadaku lagi. Aku diliput kesediahan mendalam, kehilangan hati yang selama ini telah menjaga dan menemani hari-hariku tanpa bosan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar