Waa… apa salah kk,
smpai wa gak mau bls smsnya kk lagi?
Kk mnta maaf, dengan
sangat menyesal kalau ada salah.
Dengan
perasaan tak karuan dan masih terheran-heran, pesan inilah yang aku kirim pada Salwa.
Setelah 6 bulan lamanya dekat dengannya, akhirnya dia menghilang tanpa aku
ketahui. Itu adalah awal aku merasakan kesedihan memanjang, dengan menyisakan
banyak pertanyaan tak terjawab dan pengharapan dia akan kembali lagi.
Setiap
hari dan setiap waktu, aku tak pernah lepas dari dua hal yakni buku yang ku
gunakan untuk merangkai kata dalam bait puisi merasakan kehilangan kasih sayang
dari seorang yang sangat dekat selama ini dan handphone yang kugunakan untuk
mengirim pesan kepada Salwa. Begitu banyak puisi patah hati yang telah ku tulis
dan bagitu banyak pesan yang tak terjawab telah ku kirim padanya.
Bagaimana
tidak, yang bisanya telah aku jumpai pesannya ; kini tak pernah muncul lagi,
yang biasanya setelah pulang sekolah telah ku jumpai keluh kesahnya kini tak
ada lagi, yang bisanya aku temui malam harinya kini sudah tak berani lagi.
Otakku
dipenuhi dengan memori-memori lama saat bersamanya, saat pertama dekat
dengannya sewaktu disekolah. Bertetangga membuat kami saling mengenal dan mulai
dekat, dengan kesukaan pada permen yang sama dan coklat yang sama membuat waktu
istirahat kami habiskan bertemu dan pergi ke kantin berdua.
Saat
adiknya masuk rumah sakit karena jatuh sehingga tulangnya patah, akulah orang
pertama yang dia hubungi waktu itu. Aku datang menjenguk adiknya di rumah
sakit, disambut hangat oleh orang tuanya itu
adalah kali pertama buatnya memperkenalkan seorang laki-laki pada mamanya.
Mengingatnya semakin membuatku sedih seakan menghimpit perasaanku karena dia
telah menghilang.
Saat
pulang dari Lombok Tengah berdua, dia rela menuggu sampai malam meskipun resiko
dimarah menunggunya. Atau saat melewati malam dibawah deretan cahaya lampu
malam Lingkar Selatan. Aku juga selalu mengingat momen saat-saat makan
bersamanya atau saat pertama kali dia membuat masakan untuk orang lain meskipun
rasanya keasinan.
Atau
saat pertama jalan-jalan ke pantai menggunakan seragam pramuka yang ku kira itu
adalah jalan-jalan kami yang salah kostum dan saat ke mall, ternyata dia
bersama teman-temannya yang membuatku malu. Namun membuatku sedikit lebih
istimewa dari pada orang lain. Aku merasa seperti laki-laki beruntung yang
tercipta untuknya. Tak cantik, namun cukup manis dan bagiku dia istimewa.
Bertubuh agak gemuk, namun dialah Salwa yang aku kenal. Pribadi yang dapat
menjadi dirinya sendiri tak melihat orang lain. Bagiku setengah tahun
bersamanya telah membuatku mengenalnya sangat baik waktu itu, hampir tak ada
rahasia diantara kita.
Memori-memori
yang menyesakkan, membuatku semakin terpuruk pada kesendirian dan pengharapan
dia akan kembali lagi. Ditambah lagi dengan kabar yang ku tau kalau ia sudah
tak sendiri lagi, membuatku makin tenggelam dalam kesediahan
Enam
bulan lamanya waktu-waktu berlalu begitu saja tanpa ada yang tak bermakna, sebagian
besar ku lalui dengan meratapi semua perasaanku. Hingga suatu hari aku tak
sengaja mendengar kabarnya bahwa dia telah jatuh pingsan di kelasnya. Sontak
aku merasa tak karuan dengan kabarnya, dari kabar yang ku dapat dia dirawat di
rumah sakit tempat adiknya dulu dirawat. Dengan membawa perasaanku yang masih
begitu membuncah tak tertahan, aku memberanikan diri untuk menemuinya dengan
menjenguknya di rumah sakit.
“pak,
ada pasien yang bernama Salwa Aulia?” tanyakku pada petugas resepsionis yang
berada dilantai dasar.
“owh
iya ada, di dilantai ke 4.” Jawab tegas petugas resepsionis.
Dengan
membawa topi pemberiannya, aku mengharap dia akan melihatku masih
mengharapkannya, namun saat itu aku mengetahui ia telah berpacaran dengan
seorang adik kelasnya.
Dengan
perasaan yang tak karuan dan deg-degan, satu persatu anak tangga ku lewati
menuju lantai ke 4. Rasa malu, tak berani, dan berat untuk melangkah, saat itu
aku merasa sebagai laki-laki paling pengecut yang pernah ada.
Tepat
di depan kamarnya, kudengar dari luar suara-suara yang ada di dalam cukup ramai.
Akhirnya ku putuskan mengintip melalui celah jendela kamarnya, ia sedang makan
dan bercanda dengan mamanya. Saat itu adalah perdebatan
paling alot yang terjadi antara hati dan fikiranku, semua perasaanku bercampur
menjadi satu tak karuan.
jangan masuk, entar
malah ngeganggu. Hatiku mendesak,
tak bersinergi dengan fikirku. Lama ku pandangi ia yang sedang bercanda dengan
mamanya membuatku terharu.
Melihatmu dari luar
sini dan melihatmu baik-baik saja sudah membuatku senang dan tenang kok. Aku
tak sudah tak bisa melihatmu secara langsung, cukup aku saja yang merasakan dan
memikirkanmu dan jangan pernah melihatku lagi sehingga engkau merasa lebih
sakit karenaku.
Batinku terus
meronta-ronta menahan seengguk tangis karena ingin menemuinya namun tak kuasa
aku melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut.
Akhirnya
aku duduk termenung pada sebuah kursi di dekat kamarnya, menunduk dan terus
mimikirkan perasaan yang telah pada puncak konflik. Sudah satengah jam aku
termenung dengan kelebat hati yang tak kunjung mencapai kesepakatan, kemudian Ka’
Ani keluar bersama temannya melihat ke arahku namun hanya sekilas sehingga tak
terlalu memperhatikanku.
Aku
sangat takut dengan perasaanku saat itu akhirnya beranjak mengucapkan kata-kata
dari balik jendela dengan suara sayup tak terdengar oleh siapapun. “cepat
sembuh Wa, kakak selalu mendoakanmu. Kakak selalu inget Wa, jadi jangan hawatir
kakak akan pergi. Kapan pun Wa butuh, kakak selalu ada buat Wa.
Kakak rindu
sama Wa, tapi kakak udah gak sanggup lagi ketemu dan cukup melihatmu baik-baik
aja dari sisiku sudah membuatku tenang.
Kakak sayang sama Wa
melebihi siapapun sampai saat ini meskipun waktu udah lama berlalau, silih
berganti orang yang mencoba buat nutupin kekosongan yang Wa buat tapi tetep gak
bisa. Kakak mencintai Wa lebih dari pada siapapun yang pernah ada di hatinya
kakak. Layaknya mentari yang terkadang terhalang oleh mendung namun tetap saja
ia kembali bersinar terik, seperti itulah Wa di hatinya kakak.
Ingin sekali kakak
ngejaga Wa disana. Namun apa daya kakak hanya bisa berandai-andai. Sejujurnya
perasaan sayang ini telah berkembang di hati kakak, Wa bikin perasaan ini
nyaman dan terus tumbuh meskipun Wa udah ninggalin. Makasi udah bikin sesuatu
yang berharga buat kakak. Hati yang selalu ku simpan kan terus ku simpan. Hanya kata hati yang terus mengiringi
kepergianku dari sana.
Hari-hari
berlalu, selalu ku lihat status facebook di dinding berandanya. Ia masih
menggunakan tongkat ke sekolah dan itu membuatku kembali berfikir, seandainya aku masih disana jadi kakak
kelasnya Wa, aku akan selalu setia menemanimu saat ini.
***
Kelulusan
kelas tiga angkatan 2012 sudah dimumkan dan semua siswa MAN 2 Mataram lulus
100%
seperti tahun lalu, aku
sudah tak tahu lagi keadaan Salwa semenjak saat itu. Hari-hari berlalu masih
seperti biasa, sangat lambat untuk ukuran hati yang masih terluka dan mengharap.
“Wim…
pergi ke kostnya Salwa ayok?” ajak salah seorang sahabatku Angga, aku telah
baikan dengannya sudah lama setelah aku dekat dengan Salwa dan melupakan
kejadian yang pernah membuatku kesal terhadapnya.
“Ayook…”
balasku dengan kegirangan tapi masih sangat canggung dan tak tahu apakah aku
masih tak berani menemuinya.
Sebuah
motor hijau telah ku parkir di depan sebuah kamar kost-kostan. Ternyata aku
masih sangat canggung dan tak berani menemui Salwa, perasaanku mulai berkelebat
lagi karena inilah yang terjadi ketika aku akan menemuinya. Sejurus kemudian
aku berlari untuk sembunyi dibelakang pintu pagar kostan sehingga tubuhku tak
terlihat oleh siapapun yang ada di dalam, sementara itu Angga telah berdiri di
depan pintu kamar yang ada di depan motor yang telahku parkir.
“Wiim…
kamu mau kemana, kok malah sembunyi?” teriak Angga dari kejauhan dengan
terheran-heran.
Tanpa
memperdulikanku lagi, dia mengetuk pintu.
“Salwaaa…”
dia memanggil penghuni kamar.
“Iyaaa…
tunggu sebentar,” jawab seseorang dari balik pintu kamar. Suaranya tak begitu
besar, namun aku tahu suara itu tak asing lagi. Deg… deg… deg… kini aku sudah bisa mendengar hatiku yang mulai
berdebar lebih kencang. Jantungku telah memompa lebih banyak darah saat ini
sementara air
mukaku telah berubah.
Dia ada disana, ku kira
dia akan mengenaliku dan tak keberatan jika aku kesana menemuinya. Hatiku menerka dan berbicara sendiri.
Sementara itu aku sudah tak sanggup lagi berdiri terlalu lama menopang hatiku
yang sudah berdebar kencang tak karuan.
Akhirnya
aku duduk tersipu sambil menunduk, menahan perasaan yang sudah tak tertahan
lagi. Aku kembali merasakan betapa pengecutnya aku ini, kemudian aku menengadah
kelangit. Sudah lama aku tak memperhatikan birunya langit tanpa awan, aku
termenung lama memperhatikan.
Seperti itulah hatiku
yang sekarang, seperti birunya langit tak berpenghuni menyisakan kosong tanpa
warna lain. Ungkap hatiku
yang semakin pilu. Aku masih tak beranjak dari tempat itu.
Akhirnya
ku beranikan diri untuk menemuinya setelah ku usap tangisku. Tapi tak sampai
lima langkah kakiku tak dapat bergerak lagi.
Kenapa ini, aneh… kakiku
tak dapat menuruti pikiranku.
Aku mulai panik saat itu. Akhirnya aku putuskan untuk melihatnya dari balik
pintu melalui celah-celah pintu gerbang. Kuliahat disana seorang perempuan
bertubuh cukup gemuk sedang mengobrol dengan Angga, perlahan ku alihkan fokus
pandangan pada wajahnya.
Deg… deg… deg…baru saja ku lihat wajahnya lagi namun
sekilas dan tak terlalu jelas. Kini aku sudah mundur beberapa langkah.
Kenapa…? Kenapa aku
seperti ini, tak dapat lagi melihatnya lebih lama meskipun tak dilihat. Hatiku memberontak.
“Ka’
angga sama siapa kesini?” terdengar suaranya bertanya kepada Angga.
“Tadi
sama Ka’ Sani, tapi gak tau kenapa dia lari kebelakang pintu gerbang.”
“Huuum…
kok bisa?”
Sementara
itu aku masih diam dari balik pintu. Masih mengurusi hatiku yang semakin
meronta-ronta tak jelas dan tak tahu mau apa.
Akhirnya,
ku gerakkan kakiku perlahan-lahan agar tak terdengar oleh mereka yang sedang
mengobrol dengan memperhatikan langkah kakiku. Deg… aku kembali terdiam. Ku beranikan diri menoleh kearah mereka. Deg… deg… deg… aku melihat wajah mereka
melih kearahku. Sejurus kemudian aku telah mengalihkan pandangan kearah Salwa. Mataku
kabur dan tak melihat dengan jelas, kini aku mengalihkan pandangan ke berbagai
sudut tempat. Semuanya telah buram.
Akhirnya
aku kembali menundukkan kepala. Menguatkan kakiku yang entah berapa lama lagi
dapat bertahan. Bingung dengan semuanya. Semoga
aku tak pingsan, beberapa kali aku mengeluarkan pertanyaan kedalam hatiku. Kenapa
aku?
“Kakak…”
panggil seseorang didepan sana dengan nada lembut. Suaranya menggetarkan hatiku
dan jantungku semakin tak teratur memompa darahku.
“Kakak
kenapa diam disitu?” Panggilnya sekali lagi. Iya suara itu di tunjukkan untukku
karena hanya ada aku.
Kini
ku beranikan diri melihatnya sangat dekat. iyaa
dia adalah salwa yang dulu. Ternyata aku masih dikenal, aku tak dibenci.
Buktinya dia masih memanggilku dengan sebutan yang dulu. Dia masih bisa
tersenyum melihatku, tak ada rasa kebencian yang kulihat darinya sehingga ia
menghilang begitu lama. Hatiku berbicara sendiri.
Aku
sudah tak dapat menegakkan kepala dan menyibukkan diri
“Kakak
kenapa?”
Tak
dapat aku jawab. Suaraku tak dapat keluar, aku hanya menelan ludahku saat ingin
berbicara. aku begitu rindu Wa.. Yaa… semua yang ada padamu, semua tentangmu, dan
semua tentang kita. Aku menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dalam hatiku.
Akhirnya
aku duduk di depan kamarnya tak dapat menahan kakiku yang sedari tadi bergetar dengan
kepala tertunduk tak berbicara sedikit pun sampai kami pulang. Semuanya masih
samar-samar. Banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya namun apa daya
mulutku tak dapat digerakkan dan mengeluarkan suara sama sekali. Memori-memori
tentangnya kembali melintas membuatku semakin bersedih.
Aku masih menyayangimu
wa. Sangat sangat menyayangimu, tak dapat aku lupakan semua kisah bersamamu
pada masa yang telah lalu. Semuanya masih tersimpan di hatiku sebagai kisah
terindah yang tak akan tergantikan. Sesungguhnya kamu sudah mengambil setengah
hatiku yang tak dapat aku bagi lagi untuk siapa pun, curangmu pergi tak kembali
lagi untuk sempat mengembalikannya.
Hatiku masih saja merengek.
Inilah
alasanku sehingga tak dapat menerima cinta yang lain lagi. Aku sudah menutup
cinta yang lain untuk memasuki hatiku.
"ku titip rindu dalam
tangis hujan di sore ini yang ku kira kau terima salam cinta yang tak pernah
pergi mengukir cerita dalam sajak panjang memori indah di fikiranku..
berhenti sejenak
mengingatmu kemudian datang kembali dalam detak irama jantung yang memompa
darahku, membawa kenangan indah saat bersamamu di dunia cinta penuh kasih..
tapi kini hanya luka
rindu yang masih terdiam tak kunjung pergi membawa rintik air mata basahi pipi
dalam raut wajah tangisku yang sesekali mengalir melewati bibir yang memanggil
namamu..
terkadang rindu ini
buatku menyesali yang telah berlalu namun tak bawamu kembali hapuskan sepi yang
selalu ku hadapi sendiri tak seperti dulu saat kau ada bersamaku..
kini ku lantunkan
lagu-lagu syahdu dalam gelap malam yang termenung melihatku tangisimu, hanya
sendiri tak seperti yang telah lalu
meskipun yang ku dengar hanya suaramu..
aku rindu setiap kata
yang kau ucapkan untukku meskipun itu hanya sebaris cerita eluhmu karena hadapi
hari yang buatmu lelah."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar