Jumat, 18 Juli 2014

CEPAT SEMBUH SETENGAH HATIKU


Waa… apa salah kk, smpai wa gak mau bls smsnya kk lagi?
Kk mnta maaf, dengan sangat menyesal kalau ada salah.

Dengan perasaan tak karuan dan masih terheran-heran, pesan inilah yang aku kirim pada Salwa. Setelah 6 bulan lamanya dekat dengannya, akhirnya dia menghilang tanpa aku ketahui. Itu adalah awal aku merasakan kesedihan memanjang, dengan menyisakan banyak pertanyaan tak terjawab dan pengharapan dia akan kembali lagi.

Setiap hari dan setiap waktu, aku tak pernah lepas dari dua hal yakni buku yang ku gunakan untuk merangkai kata dalam bait puisi merasakan kehilangan kasih sayang dari seorang yang sangat dekat selama ini dan handphone yang kugunakan untuk mengirim pesan kepada Salwa. Begitu banyak puisi patah hati yang telah ku tulis dan bagitu banyak pesan yang tak terjawab telah ku kirim padanya.

Bagaimana tidak, yang bisanya telah aku jumpai pesannya ; kini tak pernah muncul lagi, yang biasanya setelah pulang sekolah telah ku jumpai keluh kesahnya kini tak ada lagi, yang bisanya aku temui malam harinya kini sudah tak berani lagi.

Otakku dipenuhi dengan memori-memori lama saat bersamanya, saat pertama dekat dengannya sewaktu disekolah. Bertetangga membuat kami saling mengenal dan mulai dekat, dengan kesukaan pada permen yang sama dan coklat yang sama membuat waktu istirahat kami habiskan bertemu dan pergi ke kantin berdua.

Saat adiknya masuk rumah sakit karena jatuh sehingga tulangnya patah, akulah orang pertama yang dia hubungi waktu itu. Aku datang menjenguk adiknya di rumah sakit, disambut hangat oleh orang tuanya itu adalah kali pertama buatnya memperkenalkan seorang laki-laki pada mamanya. Mengingatnya semakin membuatku sedih seakan menghimpit perasaanku karena dia telah menghilang.

Saat pulang dari Lombok Tengah berdua, dia rela menuggu sampai malam meskipun resiko dimarah menunggunya. Atau saat melewati malam dibawah deretan cahaya lampu malam Lingkar Selatan. Aku juga selalu mengingat momen saat-saat makan bersamanya atau saat pertama kali dia membuat masakan untuk orang lain meskipun rasanya keasinan.

Atau saat pertama jalan-jalan ke pantai menggunakan seragam pramuka yang ku kira itu adalah jalan-jalan kami yang salah kostum dan saat ke mall, ternyata dia bersama teman-temannya yang membuatku malu. Namun membuatku sedikit lebih istimewa dari pada orang lain. Aku merasa seperti laki-laki beruntung yang tercipta untuknya. Tak cantik, namun cukup manis dan bagiku dia istimewa. Bertubuh agak gemuk, namun dialah Salwa yang aku kenal. Pribadi yang dapat menjadi dirinya sendiri tak melihat orang lain. Bagiku setengah tahun bersamanya telah membuatku mengenalnya sangat baik waktu itu, hampir tak ada rahasia diantara kita.

Memori-memori yang menyesakkan, membuatku semakin terpuruk pada kesendirian dan pengharapan dia akan kembali lagi. Ditambah lagi dengan kabar yang ku tau kalau ia sudah tak sendiri lagi, membuatku makin tenggelam dalam kesediahan

Enam bulan lamanya waktu-waktu berlalu begitu saja tanpa ada yang tak bermakna, sebagian besar ku lalui dengan meratapi semua perasaanku. Hingga suatu hari aku tak sengaja mendengar kabarnya bahwa dia telah jatuh pingsan di kelasnya. Sontak aku merasa tak karuan dengan kabarnya, dari kabar yang ku dapat dia dirawat di rumah sakit tempat adiknya dulu dirawat. Dengan membawa perasaanku yang masih begitu membuncah tak tertahan, aku memberanikan diri untuk menemuinya dengan menjenguknya di rumah sakit.

“pak, ada pasien yang bernama Salwa Aulia?” tanyakku pada petugas resepsionis yang berada dilantai dasar.

“owh iya ada, di dilantai ke 4.” Jawab tegas petugas resepsionis.

Dengan membawa topi pemberiannya, aku mengharap dia akan melihatku masih mengharapkannya, namun saat itu aku mengetahui ia telah berpacaran dengan seorang adik kelasnya.

Dengan perasaan yang tak karuan dan deg-degan, satu persatu anak tangga ku lewati menuju lantai ke 4. Rasa malu, tak berani, dan berat untuk melangkah, saat itu aku merasa sebagai laki-laki paling pengecut yang pernah ada.

Tepat di depan kamarnya, kudengar dari luar suara-suara yang ada di dalam cukup ramai. Akhirnya ku putuskan mengintip melalui celah jendela kamarnya, ia sedang makan dan bercanda dengan mamanya. Saat itu adalah perdebatan paling alot yang terjadi antara hati dan fikiranku, semua perasaanku bercampur menjadi satu tak karuan.

jangan masuk, entar malah ngeganggu. Hatiku mendesak, tak bersinergi dengan fikirku. Lama ku pandangi ia yang sedang bercanda dengan mamanya membuatku terharu.

Melihatmu dari luar sini dan melihatmu baik-baik saja sudah membuatku senang dan tenang kok. Aku tak sudah tak bisa melihatmu secara langsung, cukup aku saja yang merasakan dan memikirkanmu dan jangan pernah melihatku lagi sehingga engkau merasa lebih sakit karenaku. 

Batinku terus meronta-ronta menahan seengguk tangis karena ingin menemuinya namun tak kuasa aku melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut.

Akhirnya aku duduk termenung pada sebuah kursi di dekat kamarnya, menunduk dan terus mimikirkan perasaan yang telah pada puncak konflik. Sudah satengah jam aku termenung dengan kelebat hati yang tak kunjung mencapai kesepakatan, kemudian Ka’ Ani keluar bersama temannya melihat ke arahku namun hanya sekilas sehingga tak terlalu memperhatikanku.

Aku sangat takut dengan perasaanku saat itu akhirnya beranjak mengucapkan kata-kata dari balik jendela dengan suara sayup tak terdengar oleh siapapun. “cepat sembuh Wa, kakak selalu mendoakanmu. Kakak selalu inget Wa, jadi jangan hawatir kakak akan pergi. Kapan pun Wa butuh, kakak selalu ada buat Wa. 

Kakak rindu sama Wa, tapi kakak udah gak sanggup lagi ketemu dan cukup melihatmu baik-baik aja dari sisiku sudah membuatku tenang.

Kakak sayang sama Wa melebihi siapapun sampai saat ini meskipun waktu udah lama berlalau, silih berganti orang yang mencoba buat nutupin kekosongan yang Wa buat tapi tetep gak bisa. Kakak mencintai Wa lebih dari pada siapapun yang pernah ada di hatinya kakak. Layaknya mentari yang terkadang terhalang oleh mendung namun tetap saja ia kembali bersinar terik, seperti itulah Wa di hatinya kakak.

Ingin sekali kakak ngejaga Wa disana. Namun apa daya kakak hanya bisa berandai-andai. Sejujurnya perasaan sayang ini telah berkembang di hati kakak, Wa bikin perasaan ini nyaman dan terus tumbuh meskipun Wa udah ninggalin. Makasi udah bikin sesuatu yang berharga buat kakak. Hati yang selalu ku simpan kan terus ku simpan. Hanya kata hati yang terus mengiringi kepergianku dari sana.

Hari-hari berlalu, selalu ku lihat status facebook di dinding berandanya. Ia masih menggunakan tongkat ke sekolah dan itu membuatku kembali berfikir, seandainya aku masih disana jadi kakak kelasnya Wa, aku akan selalu setia menemanimu saat ini.

*** 


Kelulusan kelas tiga angkatan 2012 sudah dimumkan dan semua siswa MAN 2 Mataram lulus 100% seperti tahun lalu, aku sudah tak tahu lagi keadaan Salwa semenjak saat itu. Hari-hari berlalu masih seperti biasa, sangat lambat untuk ukuran hati yang masih terluka dan mengharap.



“Wim… pergi ke kostnya Salwa ayok?” ajak salah seorang sahabatku Angga, aku telah baikan dengannya sudah lama setelah aku dekat dengan Salwa dan melupakan kejadian yang pernah membuatku kesal terhadapnya.

“Ayook…” balasku dengan kegirangan tapi masih sangat canggung dan tak tahu apakah aku masih tak berani menemuinya.

Sebuah motor hijau telah ku parkir di depan sebuah kamar kost-kostan. Ternyata aku masih sangat canggung dan tak berani menemui Salwa, perasaanku mulai berkelebat lagi karena inilah yang terjadi ketika aku akan menemuinya. Sejurus kemudian aku berlari untuk sembunyi dibelakang pintu pagar kostan sehingga tubuhku tak terlihat oleh siapapun yang ada di dalam, sementara itu Angga telah berdiri di depan pintu kamar yang ada di depan motor yang telahku parkir.

“Wiim… kamu mau kemana, kok malah sembunyi?” teriak Angga dari kejauhan dengan terheran-heran.

Tanpa memperdulikanku lagi, dia mengetuk pintu.

“Salwaaa…” dia memanggil penghuni kamar.

“Iyaaa… tunggu sebentar,” jawab seseorang dari balik pintu kamar. Suaranya tak begitu besar, namun aku tahu suara itu tak asing lagi. Deg… deg… deg… kini aku sudah bisa mendengar hatiku yang mulai berdebar lebih kencang. Jantungku telah memompa lebih banyak darah saat ini sementara air mukaku telah berubah.

Dia ada disana, ku kira dia akan mengenaliku dan tak keberatan jika aku kesana menemuinya. Hatiku menerka dan berbicara sendiri. Sementara itu aku sudah tak sanggup lagi berdiri terlalu lama menopang hatiku yang sudah berdebar kencang tak karuan.

Akhirnya aku duduk tersipu sambil menunduk, menahan perasaan yang sudah tak tertahan lagi. Aku kembali merasakan betapa pengecutnya aku ini, kemudian aku menengadah kelangit. Sudah lama aku tak memperhatikan birunya langit tanpa awan, aku termenung lama memperhatikan.

Seperti itulah hatiku yang sekarang, seperti birunya langit tak berpenghuni menyisakan kosong tanpa warna lain. Ungkap hatiku yang semakin pilu. Aku masih tak beranjak dari tempat itu.
Akhirnya ku beranikan diri untuk menemuinya setelah ku usap tangisku. Tapi tak sampai lima langkah kakiku tak dapat bergerak lagi.

Kenapa ini, aneh… kakiku tak dapat menuruti pikiranku. Aku mulai panik saat itu. Akhirnya aku putuskan untuk melihatnya dari balik pintu melalui celah-celah pintu gerbang. Kuliahat disana seorang perempuan bertubuh cukup gemuk sedang mengobrol dengan Angga, perlahan ku alihkan fokus pandangan pada wajahnya.

Deg… deg… deg…baru saja ku lihat wajahnya lagi namun sekilas dan tak terlalu jelas. Kini aku sudah mundur beberapa langkah.

Kenapa…? Kenapa aku seperti ini, tak dapat lagi melihatnya lebih lama meskipun tak dilihat. Hatiku memberontak.

“Ka’ angga sama siapa kesini?” terdengar suaranya bertanya kepada Angga.

“Tadi sama Ka’ Sani, tapi gak tau kenapa dia lari kebelakang pintu gerbang.”

“Huuum… kok bisa?”

Sementara itu aku masih diam dari balik pintu. Masih mengurusi hatiku yang semakin meronta-ronta tak jelas dan tak tahu mau apa.

Akhirnya, ku gerakkan kakiku perlahan-lahan agar tak terdengar oleh mereka yang sedang mengobrol dengan memperhatikan langkah kakiku. Deg… aku kembali terdiam. Ku beranikan diri menoleh kearah mereka. Deg… deg… deg… aku melihat wajah mereka melih kearahku. Sejurus kemudian aku telah mengalihkan pandangan kearah Salwa. Mataku kabur dan tak melihat dengan jelas, kini aku mengalihkan pandangan ke berbagai sudut tempat. Semuanya telah buram.

Akhirnya aku kembali menundukkan kepala. Menguatkan kakiku yang entah berapa lama lagi dapat bertahan. Bingung dengan semuanya. Semoga aku tak pingsan, beberapa kali aku mengeluarkan pertanyaan kedalam hatiku. Kenapa aku?

“Kakak…” panggil seseorang didepan sana dengan nada lembut. Suaranya menggetarkan hatiku dan jantungku semakin tak teratur memompa darahku.

“Kakak kenapa diam disitu?” Panggilnya sekali lagi. Iya suara itu di tunjukkan untukku karena hanya ada aku.

Kini ku beranikan diri melihatnya sangat dekat. iyaa dia adalah salwa yang dulu. Ternyata aku masih dikenal, aku tak dibenci. Buktinya dia masih memanggilku dengan sebutan yang dulu. Dia masih bisa tersenyum melihatku, tak ada rasa kebencian yang kulihat darinya sehingga ia menghilang begitu lama. Hatiku berbicara sendiri.

Aku sudah tak dapat menegakkan kepala dan menyibukkan diri
“Kakak kenapa?”

Tak dapat aku jawab. Suaraku tak dapat keluar, aku hanya menelan ludahku saat ingin berbicara. aku begitu rindu Wa.. Yaa… semua yang ada padamu, semua tentangmu, dan semua tentang kita. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam hatiku.

Akhirnya aku duduk di depan kamarnya tak dapat menahan kakiku yang sedari tadi bergetar dengan kepala tertunduk tak berbicara sedikit pun sampai kami pulang. Semuanya masih samar-samar. Banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya namun apa daya mulutku tak dapat digerakkan dan mengeluarkan suara sama sekali. Memori-memori tentangnya kembali melintas membuatku semakin bersedih.

Aku masih menyayangimu wa. Sangat sangat menyayangimu, tak dapat aku lupakan semua kisah bersamamu pada masa yang telah lalu. Semuanya masih tersimpan di hatiku sebagai kisah terindah yang tak akan tergantikan. Sesungguhnya kamu sudah mengambil setengah hatiku yang tak dapat aku bagi lagi untuk siapa pun, curangmu pergi tak kembali lagi untuk sempat mengembalikannya. Hatiku masih saja merengek.

Inilah alasanku sehingga tak dapat menerima cinta yang lain lagi. Aku sudah menutup cinta yang lain untuk memasuki hatiku.



"ku titip rindu dalam tangis hujan di sore ini yang ku kira kau terima salam cinta yang tak pernah pergi mengukir cerita dalam sajak panjang memori indah di fikiranku..
berhenti sejenak mengingatmu kemudian datang kembali dalam detak irama jantung yang memompa darahku, membawa kenangan indah saat bersamamu di dunia cinta penuh kasih..
tapi kini hanya luka rindu yang masih terdiam tak kunjung pergi membawa rintik air mata basahi pipi dalam raut wajah tangisku yang sesekali mengalir melewati bibir yang memanggil namamu..
terkadang rindu ini buatku menyesali yang telah berlalu namun tak bawamu kembali hapuskan sepi yang selalu ku hadapi sendiri tak seperti dulu saat kau ada bersamaku..
kini ku lantunkan lagu-lagu syahdu dalam gelap malam yang termenung melihatku tangisimu, hanya sendiri  tak seperti yang telah lalu meskipun yang ku dengar hanya suaramu..
aku rindu setiap kata yang kau ucapkan untukku meskipun itu hanya sebaris cerita eluhmu karena hadapi hari yang buatmu lelah."



***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar