Sabtu, 26 Juli 2014

8-14-22




Hari ini aku telah memutuskan untuk menjauhi Nita, aku tak mau seperti ini terus. Dia sudah menilai aku memberikan perhatian dan kasih sayang lebih padanya yang sebenarnya tak ada. Dengan anggapan yang ku kira sangat jelas terlihat dari sms yang semakin hari semakin berharap aku segera menyatakan cinta untuknya. Belum lagi dia telah banyak bercerita tentang hari-hari yang kita lalui kepada sahabat-sahabatnya sehingga kapanpun aku bertemu mereka, kerap sekali memanggil dengan sebutan Nita.

Dengan segenap keberanian yang ku kumpulkan dari pagi harinya, aku telah membuat janji untuk bertemu dengannya sore hari di dekat kampusku. Seperti biasa saat bertemu kami saling bertukar senyum, namun dengan segera aku merubah sikapku dan melihatnya dengan pandangan serius. Itu adalah sikap tegas yang ku perlihatkan padanya agar tidak ada yang terluka lagi anggapku.

“Duduk disini Tha, aku mau ngomong serius sama kamu,” aku menunjukkan padanya sebuah tempat duduk.

“Kamu mau ngomong apa keboo… kayaknya serius banget,” jawabnya heran melihat sikapku yang telah berubah.

Akhirnya aku menceritakan semuanya tentang kisahku padanya sehingga aku tak dapat membuka hati untuknya dan berulang kali meminta maaf atas semua yang telah kami lalui. Aku yang sudah mengerti dengan perasaannya sekarang ini tak dapat memberikan lebih dari sebuah persahabatan. Ia yang semenjak tadi menundukkan kepala kini telah menitikkan butiran bening air mata.

“Thaa…”panggilku pelan.

“Kamu nangis ya,” panggilku sekali lagi sambil memegang pundaknya.

Tak dapat ku percaya, perempuan ini ternyata rapuh banget. Ternyata ia memberikan hatiku semenjak dulu sekali dan ku kira ia sudah sangat mencintaiku sampai-sampai ia menangis. Ungkap batinku

“Aku minta maaf tha, aku harus mengatakan ini secepatnya sama kamu. Aku tak mau kamu lebih terluka karena cinta karena mengetahui hal ini suatu saat nanti. Sekali lagi maaf tha… dengan sangat rendah hati,” aku menegaskan kata-kata sambil melembutkan suaraku padanya.

Seketika itu ia bangun dari duduknya dan dengan terisak-isak hanya bergerak meninggalkanku yang masih duduk. Sepertinya ia tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya bisa melihatnya pergi meniggalkanku sendiri tanpa kata dan tanpa aku menghalanginya.

Jangan pernah hubungi aku lagi
Aku butuh waktu buat menerima kenyataan ini
Maafkan aku, dan ini bukan salahmu

Begitulah pesan yang masuk pada inbox handphoneku malam harinya. Aku tak bisa mencegahnya berbuat yang tidak aku inginkan padahal aku tak suka hubungan dekat menjadi jauh karena sebuah cinta yang tak diinginkan. Dengan rasa putus asa, aku mencoba membalas pesannya

aku tak ingin persahabatan kita hancur karena cinta
yang ku tau cinta itu hanya indah pada awalnya saja
dan ujungnya adalah perpisahan yang sangat menyakitkan
sementara itu sahabat tak mengenal kata mantan
ia terjalin untuk selamanya tanpa ujung dan perpisahan
aku tak ingin di tinggalkan lagi oleh orang tersayang
dan itu hanya karena cinta yang tak diinginkan

Aku mulai mengingat orang-orang yang pernah memasuki ruang kehidupanku dulu yang kini tak lagi ada di sisiku karena perpisahan, atau yang lebih tepatnya putus dari cinta. Mulai dari adik kelasku yang bernama Nurul. Dia ngefans berat padaku waktu itu dan akhirnya aku pun menjalin cinta dengannya disamping orangnya yang sangat cantik, aku sungguh beruntung mendapatkannya waktu itu karena banyak yang menginginkannya. Akhirnya kami pun berpisah setelah menjalani hubungan selama 6 bulan dan perpisahan kami diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan sampai saat ini ia tak bisa bersikap wajar padaku.

Memasuki tahun ketiga sekolah aku juga mendapatkan seorang adik kelas yang baru aja memasuki tahun pertamanya setelah menyeleksi 6 ornag adik kelas, dan namanya adalah Ely. Aku suka padanya karena orangnya masih terlihat imut-imut, putih, perawakannya kecil yang membuatnya semakin imut di mataku, ditambah lagi ia memakai kaca mata. Perfect, ia semakin terlihat manis menggunakan kaca mata. Aku berpisah dengannya karena merasa tidak diperhatikan dan sampai saat ini ia kerap sekali mengganti nomer sehingga aku hilang kontak dengannya. Dan yang terakhir adalah salwa aulia, orang yang masih aku harapkan sampai saat ini.

Aku juga mulai mengingat sahabat-sahabat sekolahku, meskipun kami telah berpisah lebih dari setahun tapi kami saling menjaga hubungan. Tiap liburan semester, kami berkumpul dan melakukan perjalanan-perjalanan berkesan yang sudah tak terhitung banyaknya. Satu persatu wajah mereka muncul dibenakku. Ika, Yanti, Hanny, Hasan, Yedy, Tedy, Wawan, Levy, Angga, Zohri, Imam, Wardi, Huze, Linda, Haryanti yang biasa kami panggil Yanti kuadrat, Yeyen, Elis, dan masih banyak lainnya.

Kembali ku ingat sosok nita, aku berfikir ia tak mungkin menjadi seperti mereka yang telah lama bersamaku dan merasakan indahnya persahabatan. Ia hanya memikirkan perasaannya saja. Semakin lama aku memikirkannya semakin aku mulai membenci istilah cinta ini.
Lama aku termenung akhirnya tersadar oleh getar handphone yang masih ku genggam.

Aku tak butuh seorang sahabat lagi
Karena aku sudah mempunyai banyak sahabat
Sudah cukup orang yang dapat memahamiku
Sekarang aku hanya butuh seorang sepertimu
Orang yang dapat mengisi kekosongan hati ini

Betapa terkejut aku membaca pesan yang masuk ini, penuh emosi dan ku kira air mata mengiringi tulisannya. Ku rasakan menghentak dadaku, mengacak-acak isi fikiranku yang sedari tadi menyalahkan cinta. Aku mulai memikirkan kata-kata yang tertulis dan membawaku pada sosok sahabat-sahabatku yang tak mungkin tergantikan dan juga membawaku pada sosok orang yang pernah menawarkan diri untuk menjadi penutup kekosonganku.

Sudah lama aku tak merasakan indahnya cinta yang membawaku melambung tinggi dan merasakan getar-getar tak tentu yang membuatku tersenyum sendiri.

Berhari-hari aku memikirkan kata-kata ini, dan kini aku mulai merasakan kesepian yang amat sangat. Kini bayangan tentang Salwa tak pernah lagi muncul di fikiranku semenjak ia mengatakan hal itu. Dan aku tak lagi melihat sebuah pesan yang masuk ke handphoneku, menyapa dan membuatku tersenyum membaca tulisan yang ada didalamnya. Aku membutuhkanya lebih dari siapapun dan aku tak ingin kehilangannya karena ia telah mampu membuat hari-hariku berwarna, bisik hatiku.

Akhirnya aku memutuskan untuk membuka hatiku untuknya dan menemui Nita, aku mempunyai sebuah ide yang mungkin bisa meluluhkan hatinya dan memaafkan aku. Ku lihat uang yang ada di dompetku, umm…15000, cukuplah. gumamku dalam hati. Akhirnya aku  memutuskan membeli sekotak coki-coki disebuah mini market di dekat rumahku.

Aku mulai membuka kotak coklat pasta itu, dan menghitung isinya. Sebanyak 22 biji ternyata. Aku mengambil coki-coki sebanyak 14 buah lalu mengikatnya menggunakan plester bening dan kemudian mengikatkan lagi pada 8 buah sisanya. 14, 22, adalah tanggal kelahirannya dan kelahiranku sementara tanggal 8 tinggal satu hari lagi, aku berniat memberikannya besok.
***

Akhirnya tanggal 8, aku menantikan hari ini semenjak kemarin. Aku merasa menunggu lebih lama dari biasanya. Aku sudah siap, dan aku mengeluarkan sebuah sepeda berukuran sepinggangku. Mataram-Kuripan, kira-kira 15 kilo gak terlalu jauhlah. Ungkap benakku menganggap jarak itu tak terlalu jauh demi cinta. Tak lupa aku mengeluarkan sebuah plastik hitam yang berisi kotak coklat yang tadi malem aku siapkan.

Selama perjalanan aku berharap akan bertemu dan berbicara banyak hal, mengutarakan niat dan meminta maaf padanya. Aku pernah kerumahnya hanya sekali dan tak terlalu mengingat letak rumahnya, namun tak menyurutkan niatku untuk menemuinya.

Sekitar 20 menit sudah aku mengayuh sepeda ini melewati jalan yang baru saja diperbaiki penuh debu, kini aku menyusuri jalanan besar yang baru saja dibuat sebagai jalur khusus menuju bandara internasional. Tinggal setengah perjalanan lagi aku akan sampai di kampungnya, matahari telah condong ke barat menandakan sebentar lagi akan malam. Jalanan yang begitu sepi dari lalu lalang kendaraan memperlihatkan pohon-pohon kini berwarna jingga melambai-lambai diterpa angin yang sesekali bayangannya terbawa kendaraan yang mendekatinya.

Akhirnya aku mulai memasuki kampung yang ku kira seperti di sebuah pedalaman karena letak rumah-rumanya saling berjauhan. Perlahan aku mulai mengingat-ingat 2 buah rumah yang berjejer, dulu sekali aku pernah kesana. Itu rumahnya, bisik hatiku yang mulai cangggung dan merasakan debar-debar.
Tiba-tiba, sebuah motor keluar dari halamannya dan kulihat seorang laki-laki membonceng seorang permpuan yang ku kenal. Itu Nita, mau kemana dia bersama laki-laki itu? Tanyaku dalam hati.

“Taqwim… Ngapain kamu kesini?”

“Mau ketemu sama kamu,”

“Tapi aku mau pergi ni, mau nginep di rumahnya Uun. Mau ngerjain tuges,”

“Owh gitu, yaudah aku cuman mau ngasi ini buat kamu,”

“Kamu kesini cuman buat ngasi ini? Pake sepeda dari rumah?” Ia terkejut melihatku mengulurkan sebuah tas plastik hitam itu sambil melirik kearahku yang menggunakan sepeda.

“Iyaa… kenapa emangnya? Yaudah kamu pergi aja, aku juga mau balik ni!” Jawabku spontan dan tanpa ekspresi.

Sebenarnya aku kecewa dengan apa yang aku alami, tapi aku mau bilang apa lagi? Lirihku dalam hati yang tak dapat melarangnya. Padahal aku sudah mengatur kata-kata yang akan aku ungkapkan saat bertemu dengannya dan bicara banyak hal.

Sejurus kemudian, “yaudah aku duluan ya soalnya buru-buru,” ungkapnya menyadarkanku dari lamunan. Akhirnya ia pun pergi dan menghilang dalam sekejap dari pandanganku. Hatiku tergerak, aku tak menyangka akan begini, tapi dia sudah pergi.

Aku pun pulang dengan hati lirih menatap senja telah merah padam menandakan malam telah datang. Aku berfikir, seperti inilah hati dan cinta layaknya mentari yang kerap bersinar terik tak padam oleh gumpalan-gumpalan awan mendung. Ada kalanya membuat kita menggerutu pada panasnya dan ada kalanya membuat kita takjub dengan rona-rona indah sang senja di ufuk barat. Dan ada kalanya ia harus pergi dan berganti karena telah seharian penuh menyinari bumi.

Apa yang kamu pikirin sampai segitunya kerumah pake sepeda?
Dan hanya untuk ngasi sekotak coklat?

Sebuah pesan dari Nita telah membangunkanku dari tidur pagi harinya.

Apa kamu udah baca surat yang ada di dalam surat tu?

Jawabku tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaannya itu.

Udah kemarin pas nyampe rumah Uun, makanya jawab pertanyaanku?

Tegasnya menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya.

Apa kau tau Tha,
cinta itu datang seiring kebersamaan
Lama sekali ia terpupuk
Lalu tumbuh mejadi sebuah benih kasih sayang

Jawabku layaknya memilih kata-kata yang paling pas untuk dibaca.

Maksudnya? Aku gak ngerti!

Jawabnya ketus dan singkat.

Seperti itulah aku dan kamu
Aku merindukanmu untuk menemani hari-hariku
Kamulah yang selalu menemaniku, mengukirkan cerita-cerita
Yang ku tulis menggunakan tinta warna-warni
Jujurku aku menyayangimu
Namun rasa ini telah membawaku untuk menjauhimu
Karena ketakutanku berpisah denganmu suatu saat nanti
Tapi sekarang aku sadar satu hal, aku juga membutuhkanmu
Sebagai seorang yang melengkapi hatiku
Menutup kosong yang telah tertinggal waktu untuk melangkah

Aku membutuhkan waktu yang cukup lama hanya untuk merangkai kata-kata yang ku pilah agar membuatnya luluh dan mengerti dengan penjelasanku.

Namun lama ku menunggu balasan darinya, sepertinya ia tak menginginkanku, lirih hatiku bergejolak. Ku kira sekarang ia akan benar-benar pergi meninggalkan hatiku, meninggalkan hari-hariku, dan melupakan kenangan-kenangan yang telah kita ukir bersama. itu semua adalah kesalahanku yang telah menahan perasaan ini dan tak biarkan cinta yang lain mendekatiku. Sekarang aku mulai tak tenang memikirkannya.

Kamu itu ya, selalu bisa membuatku luluh
Gak ngerti dengan perasaan ini, betapapun aku marah
Hati ini selalu melunak setelah kamu merubah sikapmu
Jujur padahal aku sudah mulai melupakanmu
Setelah sekian lama aku mencoba untuk lari darimu
Tapi kamu tiba-tiba datang dengan sejuta harapan
Dan itu membuatku merasakan cinta yang tak biasa
Aku juga menyayangimu… T.T

Sebuah pesan dengan emotion menangis yang dia cantumkan di akhir kata-kata, membuatku merasakan ia sedang menangis menulis kata-kata. Butuh sekitar setengah jam aku menunggu balasan yang dia kirimkan, entah ia memikirkan kata yang akan ia rangkai atau menangis namun yang jelas aku sangat senang membacanya. Aku merasakan ia tulus menyayangiku.

Setelah itu, kami mulai membuka perasaan masing-masing dan saling mencoba untuk saling mengerti.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar