Hari
ini aku telah memutuskan untuk menjauhi Nita, aku tak mau seperti ini terus.
Dia sudah menilai aku memberikan perhatian dan kasih sayang lebih padanya yang sebenarnya
tak ada. Dengan anggapan yang ku kira sangat jelas terlihat dari sms yang
semakin hari semakin berharap aku segera menyatakan cinta untuknya. Belum lagi
dia telah banyak bercerita tentang hari-hari yang kita lalui kepada
sahabat-sahabatnya sehingga kapanpun aku bertemu mereka, kerap sekali memanggil
dengan sebutan Nita.
Dengan
segenap keberanian yang ku kumpulkan dari pagi harinya, aku telah membuat janji
untuk bertemu dengannya sore hari di dekat kampusku. Seperti biasa saat bertemu
kami saling bertukar senyum, namun dengan segera aku merubah sikapku dan
melihatnya dengan pandangan serius. Itu adalah sikap tegas yang ku perlihatkan
padanya agar tidak ada yang terluka lagi anggapku.
“Duduk
disini Tha, aku mau ngomong serius sama kamu,” aku menunjukkan padanya sebuah
tempat duduk.
“Kamu
mau ngomong apa keboo… kayaknya serius banget,” jawabnya heran melihat sikapku
yang telah berubah.
Akhirnya
aku menceritakan semuanya tentang kisahku padanya sehingga aku tak dapat
membuka hati untuknya dan berulang kali meminta maaf atas semua yang telah kami
lalui. Aku yang sudah mengerti dengan perasaannya sekarang ini tak dapat
memberikan lebih dari sebuah persahabatan. Ia yang semenjak tadi menundukkan
kepala kini telah menitikkan butiran bening air mata.
“Thaa…”panggilku
pelan.
“Kamu
nangis ya,” panggilku sekali lagi sambil memegang pundaknya.
Tak dapat ku percaya, perempuan
ini ternyata rapuh banget. Ternyata ia memberikan hatiku semenjak dulu sekali
dan ku kira ia sudah sangat mencintaiku sampai-sampai ia menangis. Ungkap batinku
“Aku
minta maaf tha, aku harus mengatakan ini secepatnya sama kamu. Aku tak mau kamu
lebih terluka karena cinta karena mengetahui hal ini suatu saat nanti. Sekali
lagi maaf tha… dengan sangat rendah hati,” aku menegaskan kata-kata sambil
melembutkan suaraku padanya.
Seketika itu ia bangun dari duduknya dan
dengan terisak-isak hanya bergerak meninggalkanku yang masih duduk. Sepertinya
ia tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Aku tak dapat berkata apa-apa
lagi dan hanya bisa melihatnya pergi meniggalkanku sendiri tanpa kata dan tanpa
aku menghalanginya.
Jangan pernah hubungi
aku lagi
Aku butuh waktu buat
menerima kenyataan ini
Maafkan aku, dan ini
bukan salahmu
Begitulah
pesan yang masuk pada inbox handphoneku malam harinya. Aku tak bisa mencegahnya
berbuat yang tidak aku inginkan padahal aku tak suka hubungan dekat menjadi
jauh karena sebuah cinta yang tak diinginkan. Dengan rasa putus asa, aku
mencoba membalas pesannya
aku tak ingin
persahabatan kita hancur karena cinta
yang ku tau cinta itu
hanya indah pada awalnya saja
dan ujungnya adalah
perpisahan yang sangat menyakitkan
sementara itu sahabat
tak mengenal kata mantan
ia terjalin untuk
selamanya tanpa ujung dan perpisahan
aku tak ingin di
tinggalkan lagi oleh orang tersayang
dan itu hanya karena
cinta yang tak diinginkan
Aku
mulai mengingat orang-orang yang pernah memasuki ruang kehidupanku dulu yang
kini tak lagi ada di sisiku karena perpisahan, atau yang lebih tepatnya putus
dari cinta. Mulai dari adik kelasku yang bernama Nurul. Dia ngefans berat
padaku waktu itu dan akhirnya aku pun menjalin cinta dengannya disamping
orangnya yang sangat cantik, aku sungguh beruntung mendapatkannya waktu itu
karena banyak yang menginginkannya. Akhirnya kami pun berpisah setelah
menjalani hubungan selama 6 bulan dan perpisahan kami diwarnai dengan konflik
yang berkepanjangan sampai saat ini ia tak bisa bersikap wajar padaku.
Memasuki
tahun ketiga sekolah aku juga mendapatkan seorang adik kelas yang baru aja
memasuki tahun pertamanya setelah menyeleksi 6 ornag adik kelas, dan namanya
adalah Ely. Aku suka padanya karena orangnya masih terlihat imut-imut, putih,
perawakannya kecil yang membuatnya semakin imut di mataku, ditambah lagi ia
memakai kaca mata. Perfect, ia semakin terlihat manis menggunakan kaca mata.
Aku berpisah dengannya karena merasa tidak diperhatikan dan sampai saat ini ia
kerap sekali mengganti nomer sehingga aku hilang kontak dengannya. Dan yang
terakhir adalah salwa aulia, orang yang masih aku harapkan sampai saat ini.
Aku
juga mulai mengingat sahabat-sahabat sekolahku, meskipun kami telah berpisah
lebih dari setahun tapi kami saling menjaga hubungan. Tiap liburan semester,
kami berkumpul dan melakukan perjalanan-perjalanan berkesan yang sudah tak
terhitung banyaknya. Satu persatu wajah mereka muncul dibenakku. Ika, Yanti,
Hanny, Hasan, Yedy, Tedy, Wawan, Levy, Angga, Zohri, Imam, Wardi, Huze, Linda,
Haryanti yang biasa kami panggil Yanti kuadrat, Yeyen, Elis, dan masih banyak
lainnya.
Kembali
ku ingat sosok nita, aku berfikir ia tak mungkin menjadi seperti mereka yang
telah lama bersamaku dan merasakan indahnya persahabatan. Ia hanya memikirkan
perasaannya saja. Semakin lama aku memikirkannya semakin aku mulai membenci
istilah cinta ini.
Lama
aku termenung akhirnya tersadar oleh getar handphone yang masih ku genggam.
Aku tak butuh seorang
sahabat lagi
Karena aku sudah
mempunyai banyak sahabat
Sudah cukup orang yang
dapat memahamiku
Sekarang aku hanya butuh
seorang sepertimu
Orang yang dapat
mengisi kekosongan hati ini
Betapa
terkejut aku membaca pesan yang masuk ini, penuh emosi dan ku kira air mata
mengiringi tulisannya. Ku rasakan menghentak dadaku, mengacak-acak isi
fikiranku yang sedari tadi menyalahkan cinta. Aku mulai memikirkan kata-kata
yang tertulis dan membawaku pada sosok sahabat-sahabatku yang tak mungkin
tergantikan dan juga membawaku pada sosok orang yang pernah menawarkan diri
untuk menjadi penutup kekosonganku.
Sudah
lama aku tak merasakan indahnya cinta yang membawaku melambung tinggi dan
merasakan getar-getar tak tentu yang membuatku tersenyum sendiri.
Berhari-hari
aku memikirkan kata-kata ini, dan kini aku mulai merasakan kesepian yang amat
sangat. Kini
bayangan tentang Salwa tak pernah lagi muncul di fikiranku semenjak ia
mengatakan hal itu. Dan aku
tak lagi melihat sebuah pesan yang masuk ke handphoneku, menyapa dan membuatku
tersenyum membaca tulisan yang ada didalamnya. Aku membutuhkanya lebih dari siapapun dan aku tak ingin kehilangannya karena ia telah mampu membuat hari-hariku berwarna, bisik hatiku.
Akhirnya
aku memutuskan untuk membuka hatiku untuknya dan menemui Nita, aku mempunyai
sebuah ide yang mungkin bisa meluluhkan hatinya dan memaafkan aku. Ku lihat uang
yang ada di dompetku, umm…15000, cukuplah. gumamku dalam hati. Akhirnya
aku memutuskan membeli sekotak coki-coki
disebuah mini market di dekat rumahku.
Aku
mulai membuka kotak coklat pasta itu, dan menghitung isinya. Sebanyak 22 biji
ternyata. Aku mengambil coki-coki sebanyak 14 buah lalu mengikatnya menggunakan
plester bening dan kemudian mengikatkan lagi pada 8 buah sisanya. 14, 22,
adalah tanggal kelahirannya dan kelahiranku sementara tanggal 8 tinggal satu
hari lagi, aku berniat memberikannya besok.
***
Akhirnya
tanggal 8, aku menantikan hari ini semenjak kemarin. Aku merasa menunggu lebih lama
dari biasanya. Aku sudah siap, dan aku mengeluarkan sebuah sepeda berukuran
sepinggangku. Mataram-Kuripan, kira-kira
15 kilo gak terlalu jauhlah. Ungkap benakku menganggap jarak itu tak
terlalu jauh demi cinta. Tak lupa aku mengeluarkan sebuah plastik hitam yang
berisi kotak coklat yang tadi malem aku siapkan.
Selama
perjalanan aku berharap akan bertemu dan berbicara banyak hal, mengutarakan
niat dan meminta maaf padanya. Aku pernah kerumahnya hanya sekali dan tak
terlalu mengingat letak rumahnya, namun tak menyurutkan niatku untuk
menemuinya.
Sekitar
20 menit sudah aku mengayuh sepeda ini melewati jalan yang baru saja diperbaiki
penuh debu, kini aku menyusuri jalanan besar yang baru saja dibuat sebagai
jalur khusus menuju bandara internasional. Tinggal setengah perjalanan lagi aku
akan sampai di kampungnya, matahari telah condong ke barat menandakan sebentar
lagi akan malam. Jalanan yang begitu sepi dari lalu lalang kendaraan
memperlihatkan pohon-pohon kini berwarna jingga melambai-lambai diterpa angin
yang sesekali bayangannya terbawa kendaraan yang mendekatinya.
Akhirnya
aku mulai memasuki kampung yang ku kira seperti di sebuah pedalaman karena letak
rumah-rumanya saling berjauhan. Perlahan aku mulai mengingat-ingat 2 buah rumah
yang berjejer, dulu sekali aku pernah kesana. Itu rumahnya, bisik hatiku yang mulai cangggung dan merasakan
debar-debar.
Tiba-tiba,
sebuah motor keluar dari halamannya dan kulihat seorang laki-laki membonceng
seorang permpuan yang ku kenal. Itu Nita,
mau kemana dia bersama laki-laki itu? Tanyaku dalam hati.
“Taqwim…
Ngapain kamu kesini?”
“Mau
ketemu sama kamu,”
“Tapi
aku mau pergi ni, mau nginep di rumahnya Uun. Mau ngerjain tuges,”
“Owh
gitu, yaudah aku cuman mau ngasi ini buat kamu,”
“Kamu
kesini cuman buat ngasi ini? Pake sepeda dari rumah?” Ia terkejut melihatku
mengulurkan sebuah tas plastik hitam itu sambil melirik kearahku yang
menggunakan sepeda.
“Iyaa…
kenapa emangnya? Yaudah kamu pergi aja, aku juga mau balik ni!” Jawabku spontan
dan tanpa ekspresi.
Sebenarnya aku kecewa
dengan apa yang aku alami, tapi aku mau bilang apa lagi? Lirihku dalam hati yang tak dapat
melarangnya. Padahal aku sudah mengatur kata-kata yang akan aku ungkapkan saat
bertemu dengannya dan bicara banyak hal.
Sejurus
kemudian, “yaudah aku duluan ya soalnya buru-buru,” ungkapnya menyadarkanku
dari lamunan. Akhirnya ia pun pergi dan menghilang dalam sekejap dari
pandanganku. Hatiku tergerak, aku tak
menyangka akan begini, tapi dia sudah pergi.
Aku
pun pulang dengan hati lirih menatap senja telah merah padam menandakan malam
telah datang. Aku berfikir, seperti
inilah hati dan cinta layaknya mentari yang kerap bersinar terik tak padam oleh
gumpalan-gumpalan awan mendung. Ada kalanya membuat kita menggerutu pada
panasnya dan ada kalanya membuat kita takjub dengan rona-rona indah sang senja
di ufuk barat. Dan ada kalanya ia harus pergi dan berganti karena telah
seharian penuh menyinari bumi.
Apa yang kamu pikirin
sampai segitunya kerumah pake sepeda?
Dan hanya untuk ngasi
sekotak coklat?
Sebuah
pesan dari Nita telah membangunkanku dari tidur pagi harinya.
Apa kamu udah baca
surat yang ada di dalam surat tu?
Jawabku
tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaannya itu.
Udah kemarin pas nyampe
rumah Uun, makanya jawab pertanyaanku?
Tegasnya
menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya.
Apa kau tau Tha,
cinta itu datang
seiring kebersamaan
Lama sekali ia terpupuk
Lalu tumbuh mejadi
sebuah benih kasih sayang
Jawabku
layaknya memilih kata-kata yang paling pas untuk dibaca.
Maksudnya? Aku gak
ngerti!
Jawabnya
ketus dan singkat.
Seperti itulah aku dan
kamu
Aku merindukanmu untuk
menemani hari-hariku
Kamulah yang selalu
menemaniku, mengukirkan cerita-cerita
Yang ku tulis
menggunakan tinta warna-warni
Jujurku aku
menyayangimu
Namun rasa ini telah
membawaku untuk menjauhimu
Karena ketakutanku
berpisah denganmu suatu saat nanti
Tapi sekarang aku sadar
satu hal, aku juga membutuhkanmu
Sebagai seorang yang
melengkapi hatiku
Menutup kosong yang
telah tertinggal waktu untuk melangkah
Aku
membutuhkan waktu yang cukup lama hanya untuk merangkai kata-kata yang ku pilah
agar membuatnya luluh dan mengerti dengan penjelasanku.
Namun
lama ku menunggu balasan darinya, sepertinya
ia tak menginginkanku, lirih hatiku bergejolak. Ku kira sekarang ia akan benar-benar pergi meninggalkan hatiku,
meninggalkan hari-hariku, dan melupakan kenangan-kenangan yang telah kita ukir
bersama. itu semua adalah kesalahanku yang telah menahan perasaan ini dan tak
biarkan cinta yang lain mendekatiku. Sekarang aku mulai tak tenang
memikirkannya.
Kamu itu ya, selalu
bisa membuatku luluh
Gak ngerti dengan
perasaan ini, betapapun aku marah
Hati ini selalu melunak
setelah kamu merubah sikapmu
Jujur padahal aku sudah
mulai melupakanmu
Setelah sekian lama aku
mencoba untuk lari darimu
Tapi kamu tiba-tiba
datang dengan sejuta harapan
Dan itu membuatku
merasakan cinta yang tak biasa
Aku juga menyayangimu…
T.T
Sebuah
pesan dengan emotion menangis yang dia cantumkan di akhir kata-kata, membuatku
merasakan ia sedang menangis menulis kata-kata. Butuh sekitar setengah jam aku
menunggu balasan yang dia kirimkan, entah ia memikirkan kata yang akan ia
rangkai atau menangis namun yang jelas aku sangat senang membacanya. Aku
merasakan ia tulus menyayangiku.
Setelah
itu, kami mulai membuka perasaan masing-masing dan saling mencoba untuk saling
mengerti.
***